Rabu, 09 April 2014

PSIKOLOGI PENDIDIKAN

FAKTOR INTERNAL PEMBELAJARAN

A.      PENDAHULUAN

Latar Belakang
            Pembelajaran adalah suatu proses untuk merubah perilaku peserta didik. Dalam pembelajaran terjadi suatu proses panjang agar tujuan yang dicapai memenuhi harapan yang ingin dicapai. Pembelajaran yang menjadikan peserta didik  dapat merubah perilaku terkadang memiliki beberapa kendala sehingga tujuan yang ingin dicapai tidak mengalami perubahan. Pendidik sebagai penggerak dalam dimensi pembelajaran memiliki peran yang amat penting untuk mengetahui kondisi peserta didik dalam melakukan tugasnya sebagai pentrasfer ilmu pengetahuan sekaligus memberikan pengalaman.
Supaya pembelajaran berjalan dengan lancar, pendidik memiliki tugas mengetahui kondisi peserta didik yang terangkum dalam faktor-faktor pembelajaran baik itu dalam diri peserta didik maupun kondisi yang terdapat pada peserta didik. Berangkat dari latar belakang ini maka perlu pemakalah menjabarkan faktor-faktor internal pembelajaran yang harus diketahui oleh para pendidik guna memberikan pemahaman yang mendalam akan pentingnya mengetahui faktor apa saja yang mendukung pembelajaran di dalam diri peserta didik.

Rumusan Masalah

Apa definisi pembelajaran?
Apa saja faktor-faktor internal yang mempengaruhi pembelajaran ?
Tujuan
Mengetahui definisi dari pembelajaran
Mengetahui faktor-faktor internal yang mempengaruhi pembelajaran

B.       PEMBAHASAN

Pengertian Pembelajaran

Dalam pembelajaran, situasi atau kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar harus dirancang dan dikembangkan terlebih dahulu oleh guru. Pembelajaran atau proses pembelajaran sering dipahami sama dengan proses belajar mengajar di mana di dalamnya terjadi interaksi guru dan siswa dan antara sesama siswa untuk mencapai suatu tujuan yaitu terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku siswa.
Pembelajaran berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik, menjadi siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, menjadi siswa yang memiliki pengetahuan. Demikian pula siswa yang memiliki sikap, kebiasaan, dan tingkah laku yang belum mencerminkan eksistensi dirinya sebagai pribadi yang baik atau positif, menjadi siswa yang memiliki sikap, kebiasaan dan tingkah laku. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya proses belajar dalam diri siswa. Seseorang dikatakan telah mengalami proses belajar apabila di dalam dirinya telah terjadi perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran, hasil belajar dapat dilihat secara langsung.  Oleh sebab itu agar dapat dikontrol dan berkembang secara optimal melalaui proses pembelajaran di kelas, maka program pembelajaran tersebut harus dirancang terlebih dahulu oleh guru dengan memperhatikan berbagai prinsip yang telah terbukti keunggulannya secara empirik.[1]

Faktor Internal Pembelajaran
Faktor internal pembelajaran adalah faktor yang terdapat dalam diri siswa sendiri dalam mendapatkan hasil belajar yang diinginkan. Untuk mengetahui faktor internal ini terdapat dua aspek yang mendukung suatu proses pembelajaran yakni Aspek Fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan Aspek Psikologi (yang bersifat rohaniah).

Aspek Fisiologis
Kemampuan umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. [2]
Adapun menurut Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Psikologi Belajar dengan mengutip pendapat Noehi Nasution, dkk (1993: 6), kondisi fisiologis pada umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan kelelahan. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi; mereka lekas lelah, mudah mengantuk, dan sukar menerima pelajaran. [3]
Selain itu, menurut Noehi, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi panca indra (mata, hidung, telingga, pengecap, dan tubuh), terutama mata sebagai alat untuk melihat dan telingga untuk mendengar. Sebagian besar dipelajari manusia (anak) yang belajar berlangsung dengan membaca, melihat contoh, atau model, melakukan observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen, mendengarkan keterangan guru, mendengarkan ceramah, dan sebagainya.[4]
Untuk mengatasi kemungkinan timbulnya masalah pada fisik maka pihak sekolah dapat berkerja sama dalam melakukan pemeriksaan secara periodik untuk memperoleh bantuan dari dinas-dinas kesehatan setempat.
Hal pencegahan ini diperlukan dalam mengatasi aspek fisiologi karena tubuh manusia memainkan perananya dalam berinteraksi langsung untuk menerima pelajaran di dalam kelas ataupun dilingkungan belajar seperti lingkungan belajar di sekolah, lingkungan belajar di masyarakat, dan lingkungan keluarga yang menjadi pendukung utama pendidikan.
Aspek fisiologi ini juga diakui mempengaruhi pengelolaan kelas. Pengajaran dengan pola klasikal perlu memperhatikan tinggi rendahnya postur tubuh anak didik. Postur tubuh yang tinggi ditempatkan pada posisi duduk di belakang sedangkan postur tubuh yang pendek diletakkan di depan, hal ini diperlukan guna mendapatkan konsentasi belajar sehingga tidak terjadi kesulitan belajar yang disebabkan tidak terlihatnya anak didik yang memiliki postur lebih rendah apabila di posisikan di belakang dalam melihat penjelasan guru. Demikian juga pada pengelompokkan belajar siswa yang memiliki jenis yang sama seperti anak didik perempuan di kelompokkan pada kelompok sejenis dan sebaliknya. Pengelompokkan ini untuk meredam gejolak nafsu birahi untuk anak didik yang sedang meningkat ke usia remaja, di mana masa ini termasuk pancaroba, yang cenderung memiliki emosi yang tak terkendali.

Aspek Psikologis
Banyak faktor yang mempengaruhi aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kualitas dan kuantitas peroleh belajar siswa. Namun, di antar faktor-faktor rohaniah siswa  yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai berikut : 1) tingkat kecerdasan/ inteligensi siswa: 2) minat : 3) bakat : 4) sikap siswa : 5) motivasi

1)      Inteligensi Siswa
Intelegensi pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psikofisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara tepat (Reber, 1988). Jadi, inteligensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja, melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan inteligensi manusia lebih menonjol daripada peran organ-organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan “menara pengontrol” hamper seluruhaktivitas manusia.[5]
Sedangkan para ahli telah sepakat bahwa semakin meningkat umur seseorang semakin dewasa pula cara berpikirnya. Dan hal ini lebih mengukuhkan pendapat yang mengatakan bahwa kecerdasan dan umur mempunyai hubungan yang sangat erat. Perkembangan berpikir seseorang dari yang konkret ke yang abstrak tidak bisa dipisahkan dari perkembangan inteligensinya. Semakin meningkat umur seseorang semakin abstrak cara berpikirnya.[6]
Tingkat kecerdasan atau inteligensi (IQ) siswa tak dapat diragukan lagi, sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi kemampuan inteligensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih sukses. Sebaliknya, semakin rendah keamampuan inteligensi seorang siswa maka semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses.[7]
Selanjutnya, di antara siswa-siswa-yang mayoritas berinteligensi normal itu-mungkin terdapat satu atau dua orang yang tergolong gifted child atau talented child, yakni anak sangat cerdas dan anak sangat berbakat (IQ di atas 130). Disamping itu, mungkin ada pula siswa yang berkecerdasan di bawah batas rata-rata (IQ ke bawah).[8]
Raden Cahaya Prabu (1986: 45) mengatakan bahwa anak-anak yang taraf inteligensinya di bawah rata-rata, yaitu dull normal, debil, embicil, dan idiot sukar untuk sukses dalam sekolah. Mereka tidak akan mencapai pendidikan tinggi karena kemampuan potensinya terbatas. Sedangkan anak-anak yang taraf intelingensinya normal, di atas rata-rata seperti superior, gifted atau genius, jika saja lingkungan keluarga, masyarakat, dan lingkungan pendidikannya turut menunjang, maka mereka akan dapat mencapai prestasi dan keberhasilan dalam hidupnya.
Anak giffed diklasifikasikan dalam dua golongan, yaitu: Pertama, extreemely gifted child (genius) dengan taraf inteligensi 160-200. Kedua, superior child yang mempunyai taraf inteligensi antara 125-160.[9]
Akhirnya pembahasan ini bermuara pada kesimpulan, bahwa kecerdasan merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar di sekolah.

2)      Minat
Secara sederhana, minat (interest) berarti kecendrungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.[10] Adapun minat, menurut Slameto (1991: 182), adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.[11]
Timbulnya minat belajar disebabkan berbagai hal, antara lain karena keinginan yang kuat untuk menaikkan martabat atau memperoleh pekerjaan yang baik serta ingin hidup senang dan bahagia. Minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi yang tinggi, sebaliknya minat belajar kurang akan menghasilkan prestasi yang rendah (Dalyono, 1997: 56).[12]
Cara untuk menimbulkan minat anak didik terhadap sesuatu dengan memahami kebutuhan anak didik dan melayani kebutuhan anak didik adalah salah satu upaya membangkitkan minat anak didik. Dalam penentuan jurusan harus disesuaikan dengan minat anak didik. Jangan dipaksakan agar anak didik tunduk pada kemauan guru untuk memilih jurusan lain yang sebenarnya anak didik tidak berminat. Dipaksakan juga pasti akan sangat merugikan anak didik. Anak didik cenderung malas belajar untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak disukainya. Anak didik pasrah pada nasib dengan nilai apa adanya (Nasution, 1993: 7).[13]
Tanner dan Tanner (1975) menyarankan agar para pengajar juga berusaha membentuk minat-minat baru pada diri anak didik. Ini dapat dicapai dengan jalan memberikan informasi pada anak didik mengenai hubungan antara suatu bahan pengajaran yang kegunaanya bagi anak didik di masa yang akan datang. Rooijakkers (1980) berpendapat hal ini dapat pula dicapai dengan cara menghubungkan bahan pengajaran dengan suatu berita sensasional yang sudah diketahui kebanyakan anak didik.[14]
Bila usaha-usaha di atas tidak berhasil, guru dapat memakai insentif dalam usaha mencapai tujuan pengajaran. Insentif merupakan alat yang dipakai untuk membujuk seseorang agar melakukan sesuatu yang tidak mau melakukannya atau yang tidak dilakukanya dengan baik. Diharapkan pemberian insentif akan membangkitkan motivasi anak didik dan mungkin minat terhadap bahan yang diajarkan akan muncul.[15]
Slameto berkesimpulan bahwa minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh kemudian. Dengan kata lain, Slameto ingin mengatakan bahwa minat dapat ditumbuhkan dan dikembangkan pada diri seorang anak didik. Yang caranya disampaikan oleh Tanner & Tanner di atas.[16]
Beberapa ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk membangkitkan minat pada suatu subyek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat anak didik yang telah ada.

3)      Bakat
Bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; reber, 1988).[17] Menurut Sunarto & Hartono, bakat memang diakui sebagi kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih perlu dikembangkan atau latihan.[18] Dalam kenyataannya bakat tidak jarang ditemukan pada lingkungan yang kreatif. Di samping itu juga, bakat dapat diperoleh dari bakat bawaan yakni bakat yang terdapat dari keluarga yang memiliki garis keturunan dari ayah atau ibu. Istilah darah seni yang mengalir  di dalam tubuh seorang anak dan menyebabkan anak pandai menyanyi dan menyenanginya karena anak dididik dan dilatih adalah karena faktornya orang tuanya sesorang penyanyi.
Selain itu, Sunarto & Hartono juga mengatakan bahwa bakat  memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu dapat terwujud.
Dua faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan bakat menurut Syaiful  dalam bukunya Psikologi Pendidikan yaitu,
Faktor anak itu sendiri, misalnya anak tidak atau kurang berminat untuk mengembangkan bakat-bakat yang ia miliki, atau mungkin pula mempunyai kesulitan atau masalah pribadi, sehingga ia mengalami hambatan dalam pengembangan diri  dan prestasi sesuai dengan bakatnya.
Lingkungan anak sebagai faktor di luar anak, bisa menjadi penghalang perkembangan bakat anak. Misalnnya, orang tuannya kurang mampu untuk menyediakan kesempatan dan sarana pendidikan yang ia butuhkan, atau ekonominya cukup tinggi, tetapi kurang memberikan perhatian pendidikan anak.[19]
Bertolak dari persoalan bakat ini kemudian muncullah istillah “anak berbakat”. Yang dimaksud dengan anak berbakat ialah mereka yang mempunyai bakat dalam derajat tinggi dan bakat-bakat yang unggul.[20] Secara global bakat itu mirip inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berinteligensi sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga sebagai talented child, yakni anak berbakat.[21]
Menurut Vernon (1977) seperti dikutip Utami (1982: 18) sejauh mana bakat-bakat pembawaan tersebut dapat diwujudkan tergantung dari kondisi dan kesempatan yang diberikan oleh lingkungan keluarga dan masyarakat.[22]Banyak anak yang potensial berbakat tidak dapat mewujudkan keunggulanya karena lingkungan mereka menghambat pertumbuhan intelektual secara optimal.

4)      Sikap Siswa
Sikap adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecendrungan untuk mereaksi atau merespon (respon tendency) dengan cara relatif tetap terhadap obyek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif.[23] Menurut Bruno (1987), sikap (attitude) adalah kecendrungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Dengan demikian, pada prinsipnya sikap itu dapat kita anggap suatu kecendrungan siswa untuk bertindak dengan cara tertentu.[24]
Sikap siswa yang positif, terhadap guru akan terlihat pada pertanda awal mata pelajaran yang guru sajikan dari proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya, sikap negatif siswa terhadap guru dan mata pelajaran terjadi bila diiringi oleh sikap kebencian kepada guru dan kepada mata pelajaran yang dibawakannya dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut.
Untuk mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa seperti tersebut di atas, guru dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap dirinya sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi vaknya. Dalam hal bersikap positif terhadap mata pelajarannya, seorang guru sangat dianjurkan untuk sentiasa menghargai dan mencintai profesinya.

5)      Motivasi
Pengertian dasar motivasi ialah keadaan internal organism yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber,1988)[25]

Adapun bentuk motivasi belajar di Sekolah dibedakan menjadi dua macam, yaitu :

a)      Motivasi Intrinsik
Motivasi intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri yang dapat mendorong melakukan tindakan belajar.[26] Dalam buku lain motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri seseorang atau motivasi yang erat hubungannya dengan tujuan belajar, misalnya: ingin memahami suatu konsep, ingin memperoleh pengetahuan dan sebagainya.[27]
Faktor-faktor yang dapat menimbulkan motivasi intrinsik adalah:
a. Adanya kebutuhan
b. Adanya pengetahuan tentang kemajuan dirinya sendiri
c. Adanya cita-cita atau aspirasi.[28]

b)      Motivasi Ekstrinsik
Motivasi ekstrinsik adalah hal atau keadaan yang datang dari luar individu siswa, yang mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar.[29]  Bentuk motivasi ekstrinsik ini merupakan suatu dorongan yang tidak secara mutlak berkaitan dengan aktivitas belajar, misalnya siswa rajin belajar untuk memperoleh hadiah yang telah dijanjikan oleh orang tuanya, pujian dan hadiah, peraturan atau tata tertib sekolah, suri tauladan orang tua, guru dan lain-lain merupakan contoh konkrit dari motivasi ekstrinsik yang dapat mendorong siswa untuk belajar.
Dalam perspektif kognitif, motivasi intrinsik lebih signifikan bagi siswa karena lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh orang lain.
Perlu ditegaskan, bukan berarti motivasi ekstrinsik tidak baik dan tidak penting. Dalam kegiatan belajar mengajar tetap penting, karena kemungkinan besar keadaan siswa itu dinamis berubah-ubah dan juga mungkin komponen-komponen lain dalam proses belajar mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa sehingga siswa tidak bersemangat dalam melakukan proses belajar mengajar baik di sekolah maupun di rumah.
Bahwa setiap siswa tidak sama tingkat motivasi belajarnya, maka motivasi ekstrinsik sangat diperlukan dan dapat diberikan secara tepat.
Di dalam kegiatan belajar mengajar peranan motivasi baik intrinsik maupun ekstrinsik sangat diperlukan. Dengan motivasi, siswa dapat mengembangkan aktifitas dan inisiatif sehingga dapat mengarahkan dan memelihara kerukunan dalam melakukan kegiatan belajar.

C.      KESIMPULAN

Dari semua uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Pembelajaran adalah berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik, menjadi siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, menjadi siswa yang memiliki pengetahuan.
Faktor-faktor internal pembelajaran ada dua yakni dari Aspek Fisiologis dan Aspek Psikologis. Aspek Fisiologi adalah Kemampuan umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Adapun aspek psikologis di dalamnya terdapat lima unsur yakni,
a) kecerdasan/ inteligensi siswa adalah kemampuan psikofisik untuk mereaksi rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara tepat,
b) minat adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat,
c) bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang,
d) sikap siswa adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecendrungan untuk mereaksi atau merespon (respon tendency) dengan cara relatif tetap terhadap obyek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif, dan

e) motivasi adalah keadaan internal organism yang mendorongnya untuk berbuat sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk bertingkah laku secara terarah.



DAFTAR  PUSTAKA :

Aunurrahman. Belajar dan Pembelajaran. 2010. Bandung : Alfabeta.
Azhari, Akyas.  Psikologi Pendidikan. 1996. Semarang : Dina Utama Semarang.
Bahri Djamarah, Syaiful.  Psikologi Belajar. 2002. Jakarta : PT Rineka Cipta.
H. M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan.1996.  Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.
Mahmud. Psikologi Pendidikan. 2010.  Bandung : CV Pustaka Setia.
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar.2003.  Jakarta : PT RajaGrafindo.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. 2010. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syah, Muhibbin.  Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, 2002. Bandung: Remaja Rosdakarya.

[1] Aunurrahman. Belajar dan Pembelajaran. 2010. Bandung : Alfabeta. Hlm. 35
[2] Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003.  Jakarta : PT RajaGrafindo. Hlm. 145
[3] Syaiful Bahri Djamarah.  Psikologi Belajar. 2002. Jakarta : PT Rineka Cipta. Hlm. 155
[4] Ibid, Hlm. 155
[5] Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. 2010.Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Hlm. 131
[6]  Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar.2002.  Jakarta : PT Rineka Cipta. Hlm. 160
[7]  Muhibbin Syah.  Psikologi Belajar.2003.  Jakarta : PT RajaGrafindo. Hlm. 147
[8] Ibid, 147
[9]  Syaiful Bahri Djamarah.  Psikologi Belajar.2002.  Jakarta : PT Rineka Cipta. Hlm. 161
[10]  Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003.  Jakarta : PT RajaGrafindo. Hlm. 151
[11]  Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar. 2002. Jakarta : PT Rineka Cipta. Hlm. 157
[12]  Ibid, hlm. 157
[13]  Ibid, hlm. 158
[14]  Ibid, hlm. 158
[15]  Ibid, hlm. 158
[16]  Ibid, hlm. 159
[17]  Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003.  Jakarta : PT RajaGrafindo. Hlm. 150
 [18]  Syaiful Bahri Djamarah.  Psikologi Belajar. 2002. Jakarta : PT Rineka Cipta. Hlm. 162
[19]  Ibid, hlm. 164
[20]  Ibid, hlm. 165
[21]  Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. 2010.Bandung : PT Remaja Rosdakarya. Hlm. 133
[22]  Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar. 2002.  Jakarta : PT Rineka Cipta. Hlm. 165
[23]  Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003.  Jakarta : PT RajaGrafindo. Hlm. 149
[24]  Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003.  Jakarta : PT RajaGrafindo. Hlm. 123
[25] Mahmud. Psikologi Pendidikan. 2010.  Bandung : CV Pustaka Setia. Hlm. 100
[26] Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, 2002.  Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm. 136
[27] H. M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan.1996.  Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya. h. 85
[28] Akyas Azhari, Psikologi Pendidikan. 1996. Semarang : Dina Utama Semarang. hlm. 75

[29] Muhibbin Syah, Op. Cit. h. 82

Tidak ada komentar:

Posting Komentar