FAKTOR
INTERNAL PEMBELAJARAN
A. PENDAHULUAN
Latar
Belakang
Pembelajaran
adalah suatu proses untuk merubah perilaku peserta didik. Dalam pembelajaran
terjadi suatu proses panjang agar tujuan yang dicapai memenuhi harapan yang
ingin dicapai. Pembelajaran yang menjadikan peserta didik dapat merubah
perilaku terkadang memiliki beberapa kendala sehingga tujuan yang ingin dicapai
tidak mengalami perubahan. Pendidik sebagai penggerak dalam dimensi
pembelajaran memiliki peran yang amat penting untuk mengetahui kondisi peserta
didik dalam melakukan tugasnya sebagai pentrasfer ilmu pengetahuan sekaligus
memberikan pengalaman.
Supaya
pembelajaran berjalan dengan lancar, pendidik memiliki tugas mengetahui kondisi
peserta didik yang terangkum dalam faktor-faktor pembelajaran baik itu dalam
diri peserta didik maupun kondisi yang terdapat pada peserta didik. Berangkat
dari latar belakang ini maka perlu pemakalah menjabarkan faktor-faktor internal
pembelajaran yang harus diketahui oleh para pendidik guna memberikan pemahaman
yang mendalam akan pentingnya mengetahui faktor apa saja yang mendukung
pembelajaran di dalam diri peserta didik.
Rumusan
Masalah
Apa
definisi pembelajaran?
Apa
saja faktor-faktor internal yang mempengaruhi pembelajaran ?
Tujuan
Mengetahui
definisi dari pembelajaran
Mengetahui
faktor-faktor internal yang mempengaruhi pembelajaran
B. PEMBAHASAN
Pengertian
Pembelajaran
Dalam
pembelajaran, situasi atau kondisi yang memungkinkan terjadinya proses belajar
harus dirancang dan dikembangkan terlebih dahulu oleh guru. Pembelajaran atau
proses pembelajaran sering dipahami sama dengan proses belajar mengajar di mana
di dalamnya terjadi interaksi guru dan siswa dan antara sesama siswa untuk
mencapai suatu tujuan yaitu terjadinya perubahan sikap dan tingkah laku siswa.
Pembelajaran
berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik, menjadi siswa yang
terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu, menjadi siswa
yang memiliki pengetahuan. Demikian pula siswa yang memiliki sikap, kebiasaan,
dan tingkah laku yang belum mencerminkan eksistensi dirinya sebagai pribadi
yang baik atau positif, menjadi siswa yang memiliki sikap, kebiasaan dan
tingkah laku. Pembelajaran yang efektif ditandai dengan terjadinya proses
belajar dalam diri siswa. Seseorang dikatakan telah mengalami proses belajar
apabila di dalam dirinya telah terjadi perubahan, dari tidak tahu menjadi tahu,
dari tidak mengerti menjadi mengerti dan sebagainya. Dalam proses pembelajaran,
hasil belajar dapat dilihat secara langsung. Oleh sebab itu agar dapat
dikontrol dan berkembang secara optimal melalaui proses pembelajaran di kelas,
maka program pembelajaran tersebut harus dirancang terlebih dahulu oleh guru
dengan memperhatikan berbagai prinsip yang telah terbukti keunggulannya secara
empirik.[1]
Faktor
Internal Pembelajaran
Faktor
internal pembelajaran adalah faktor yang terdapat dalam diri siswa sendiri
dalam mendapatkan hasil belajar yang diinginkan. Untuk mengetahui faktor
internal ini terdapat dua aspek yang mendukung suatu proses pembelajaran yakni
Aspek Fisiologis (yang bersifat jasmaniah) dan Aspek Psikologi (yang bersifat
rohaniah).
Aspek
Fisiologis
Kemampuan
umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat
kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat
intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. [2]
Adapun
menurut Syaiful Bahri Djamarah dalam bukunya Psikologi Belajar dengan mengutip
pendapat Noehi Nasution, dkk (1993: 6), kondisi fisiologis pada umumnya sangat
berpengaruh terhadap kemampuan belajar seseorang. Orang yang dalam keadaan
segar jasmaninya akan berlainan belajarnya dari orang yang dalam keadaan
kelelahan. Anak-anak yang kekurangan gizi ternyata kemampuan belajarnya di
bawah anak-anak yang tidak kekurangan gizi; mereka lekas lelah, mudah
mengantuk, dan sukar menerima pelajaran. [3]
Selain
itu, menurut Noehi, hal yang tidak kalah pentingnya adalah kondisi panca indra
(mata, hidung, telingga, pengecap, dan tubuh), terutama mata sebagai alat untuk
melihat dan telingga untuk mendengar. Sebagian besar dipelajari manusia (anak)
yang belajar berlangsung dengan membaca, melihat contoh, atau model, melakukan
observasi, mengamati hasil-hasil eksperimen, mendengarkan keterangan guru,
mendengarkan ceramah, dan sebagainya.[4]
Untuk
mengatasi kemungkinan timbulnya masalah pada fisik maka pihak sekolah dapat
berkerja sama dalam melakukan pemeriksaan secara periodik untuk memperoleh
bantuan dari dinas-dinas kesehatan setempat.
Hal
pencegahan ini diperlukan dalam mengatasi aspek fisiologi karena tubuh manusia
memainkan perananya dalam berinteraksi langsung untuk menerima pelajaran di
dalam kelas ataupun dilingkungan belajar seperti lingkungan belajar di sekolah,
lingkungan belajar di masyarakat, dan lingkungan keluarga yang menjadi
pendukung utama pendidikan.
Aspek
fisiologi ini juga diakui mempengaruhi pengelolaan kelas. Pengajaran dengan
pola klasikal perlu memperhatikan tinggi rendahnya postur tubuh anak didik.
Postur tubuh yang tinggi ditempatkan pada posisi duduk di belakang sedangkan
postur tubuh yang pendek diletakkan di depan, hal ini diperlukan guna
mendapatkan konsentasi belajar sehingga tidak terjadi kesulitan belajar yang
disebabkan tidak terlihatnya anak didik yang memiliki postur lebih rendah
apabila di posisikan di belakang dalam melihat penjelasan guru. Demikian juga
pada pengelompokkan belajar siswa yang memiliki jenis yang sama seperti anak
didik perempuan di kelompokkan pada kelompok sejenis dan sebaliknya.
Pengelompokkan ini untuk meredam gejolak nafsu birahi untuk anak didik yang
sedang meningkat ke usia remaja, di mana masa ini termasuk pancaroba, yang
cenderung memiliki emosi yang tak terkendali.
Aspek
Psikologis
Banyak
faktor yang mempengaruhi aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kualitas dan
kuantitas peroleh belajar siswa. Namun, di antar faktor-faktor rohaniah
siswa yang pada umumnya dipandang lebih esensial itu adalah sebagai
berikut : 1) tingkat kecerdasan/ inteligensi siswa: 2) minat : 3) bakat : 4)
sikap siswa : 5) motivasi
1) Inteligensi
Siswa
Intelegensi
pada umumnya dapat diartikan sebagai kemampuan psikofisik untuk mereaksi
rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara tepat (Reber,
1988). Jadi, inteligensi sebenarnya bukan persoalan kualitas otak saja,
melainkan juga kualitas organ-organ tubuh lainnya. Akan tetapi, memang harus
diakui bahwa peran otak dalam hubungannya dengan inteligensi manusia lebih
menonjol daripada peran organ-organ tubuh lainnya, lantaran otak merupakan
“menara pengontrol” hamper seluruhaktivitas manusia.[5]
Sedangkan
para ahli telah sepakat bahwa semakin meningkat umur seseorang semakin dewasa
pula cara berpikirnya. Dan hal ini lebih mengukuhkan pendapat yang mengatakan
bahwa kecerdasan dan umur mempunyai hubungan yang sangat erat. Perkembangan
berpikir seseorang dari yang konkret ke yang abstrak tidak bisa dipisahkan dari
perkembangan inteligensinya. Semakin meningkat umur seseorang semakin abstrak
cara berpikirnya.[6]
Tingkat
kecerdasan atau inteligensi (IQ) siswa tak dapat diragukan lagi, sangat
menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa. Ini bermakna, semakin tinggi
kemampuan inteligensi seorang siswa maka semakin besar peluangnya untuk meraih
sukses. Sebaliknya, semakin rendah keamampuan inteligensi seorang siswa maka
semakin kecil peluangnya untuk memperoleh sukses.[7]
Selanjutnya,
di antara siswa-siswa-yang mayoritas berinteligensi normal itu-mungkin terdapat
satu atau dua orang yang tergolong gifted child atau talented
child, yakni anak sangat cerdas dan anak sangat berbakat (IQ di atas 130).
Disamping itu, mungkin ada pula siswa yang berkecerdasan di bawah batas
rata-rata (IQ ke bawah).[8]
Raden
Cahaya Prabu (1986: 45) mengatakan bahwa anak-anak yang taraf inteligensinya di
bawah rata-rata, yaitu dull normal, debil, embicil,
dan idiot sukar untuk sukses dalam sekolah. Mereka tidak akan
mencapai pendidikan tinggi karena kemampuan potensinya terbatas. Sedangkan
anak-anak yang taraf intelingensinya normal, di atas rata-rata seperti
superior, gifted atau genius, jika saja lingkungan keluarga,
masyarakat, dan lingkungan pendidikannya turut menunjang, maka mereka akan
dapat mencapai prestasi dan keberhasilan dalam hidupnya.
Anak
giffed diklasifikasikan dalam dua golongan, yaitu: Pertama, extreemely
gifted child (genius) dengan taraf inteligensi 160-200.
Kedua, superior child yang mempunyai taraf inteligensi antara
125-160.[9]
Akhirnya
pembahasan ini bermuara pada kesimpulan, bahwa kecerdasan merupakan salah satu
faktor dari sekian banyak faktor yang memengaruhi keberhasilan seseorang dalam
belajar di sekolah.
2) Minat
Secara
sederhana, minat (interest) berarti kecendrungan dan kegairahan yang tinggi
atau keinginan yang besar terhadap sesuatu.[10] Adapun minat,
menurut Slameto (1991: 182), adalah suatu rasa lebih suka dan rasa keterikatan
pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang menyuruh. Minat pada dasarnya
adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu di
luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar minat.[11]
Timbulnya
minat belajar disebabkan berbagai hal, antara lain karena keinginan yang kuat
untuk menaikkan martabat atau memperoleh pekerjaan yang baik serta ingin hidup
senang dan bahagia. Minat belajar yang besar cenderung menghasilkan prestasi
yang tinggi, sebaliknya minat belajar kurang akan menghasilkan prestasi yang
rendah (Dalyono, 1997: 56).[12]
Cara
untuk menimbulkan minat anak didik terhadap sesuatu dengan memahami kebutuhan
anak didik dan melayani kebutuhan anak didik adalah salah satu upaya
membangkitkan minat anak didik. Dalam penentuan jurusan harus disesuaikan
dengan minat anak didik. Jangan dipaksakan agar anak didik tunduk pada kemauan
guru untuk memilih jurusan lain yang sebenarnya anak didik tidak berminat.
Dipaksakan juga pasti akan sangat merugikan anak didik. Anak didik cenderung
malas belajar untuk mempelajari mata pelajaran yang tidak disukainya. Anak
didik pasrah pada nasib dengan nilai apa adanya (Nasution, 1993: 7).[13]
Tanner
dan Tanner (1975) menyarankan agar para pengajar juga berusaha membentuk
minat-minat baru pada diri anak didik. Ini dapat dicapai dengan jalan
memberikan informasi pada anak didik mengenai hubungan antara suatu bahan
pengajaran yang kegunaanya bagi anak didik di masa yang akan datang.
Rooijakkers (1980) berpendapat hal ini dapat pula dicapai dengan cara
menghubungkan bahan pengajaran dengan suatu berita sensasional yang sudah
diketahui kebanyakan anak didik.[14]
Bila
usaha-usaha di atas tidak berhasil, guru dapat memakai insentif dalam usaha
mencapai tujuan pengajaran. Insentif merupakan alat yang dipakai untuk membujuk
seseorang agar melakukan sesuatu yang tidak mau melakukannya atau yang tidak
dilakukanya dengan baik. Diharapkan pemberian insentif akan membangkitkan
motivasi anak didik dan mungkin minat terhadap bahan yang diajarkan akan
muncul.[15]
Slameto
berkesimpulan bahwa minat tidak dibawa sejak lahir, melainkan diperoleh
kemudian. Dengan kata lain, Slameto ingin mengatakan bahwa minat dapat
ditumbuhkan dan dikembangkan pada diri seorang anak didik. Yang caranya
disampaikan oleh Tanner & Tanner di atas.[16]
Beberapa
ahli pendidikan berpendapat bahwa cara yang paling efektif untuk membangkitkan
minat pada suatu subyek yang baru adalah dengan menggunakan minat-minat anak
didik yang telah ada.
3) Bakat
Bakat
(aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai
keberhasilan pada masa yang akan datang (Chaplin, 1972; reber, 1988).[17] Menurut Sunarto & Hartono,
bakat memang diakui sebagi kemampuan bawaan yang merupakan potensi yang masih
perlu dikembangkan atau latihan.[18] Dalam kenyataannya bakat tidak
jarang ditemukan pada lingkungan yang kreatif. Di samping itu juga, bakat dapat
diperoleh dari bakat bawaan yakni bakat yang terdapat dari keluarga yang
memiliki garis keturunan dari ayah atau ibu. Istilah darah seni yang
mengalir di dalam tubuh seorang anak dan menyebabkan anak pandai menyanyi
dan menyenanginya karena anak dididik dan dilatih adalah karena faktornya orang
tuanya sesorang penyanyi.
Selain
itu, Sunarto & Hartono juga mengatakan bahwa bakat memungkinkan
seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu, akan tetapi diperlukan
latihan, pengetahuan, pengalaman, dan dorongan atau motivasi agar bakat itu
dapat terwujud.
Dua
faktor yang ikut mempengaruhi perkembangan bakat menurut Syaiful dalam
bukunya Psikologi Pendidikan yaitu,
Faktor
anak itu sendiri, misalnya anak tidak atau kurang berminat untuk mengembangkan
bakat-bakat yang ia miliki, atau mungkin pula mempunyai kesulitan atau masalah
pribadi, sehingga ia mengalami hambatan dalam pengembangan diri dan
prestasi sesuai dengan bakatnya.
Lingkungan
anak sebagai faktor di luar anak, bisa menjadi penghalang perkembangan bakat
anak. Misalnnya, orang tuannya kurang mampu untuk menyediakan kesempatan dan
sarana pendidikan yang ia butuhkan, atau ekonominya cukup tinggi, tetapi kurang
memberikan perhatian pendidikan anak.[19]
Bertolak
dari persoalan bakat ini kemudian muncullah istillah “anak berbakat”. Yang
dimaksud dengan anak berbakat ialah mereka yang mempunyai bakat dalam derajat
tinggi dan bakat-bakat yang unggul.[20] Secara global
bakat itu mirip inteligensi. Itulah sebabnya seorang anak yang berinteligensi
sangat cerdas (superior) atau cerdas luar biasa (very superior) disebut juga
sebagai talented child, yakni anak berbakat.[21]
Menurut
Vernon (1977) seperti dikutip Utami (1982: 18) sejauh mana bakat-bakat
pembawaan tersebut dapat diwujudkan tergantung dari kondisi dan kesempatan yang
diberikan oleh lingkungan keluarga dan masyarakat.[22]Banyak anak yang
potensial berbakat tidak dapat mewujudkan keunggulanya karena lingkungan mereka
menghambat pertumbuhan intelektual secara optimal.
4) Sikap
Siswa
Sikap
adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecendrungan untuk
mereaksi atau merespon (respon tendency) dengan cara relatif tetap terhadap
obyek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif maupun negatif.[23] Menurut Bruno (1987), sikap
(attitude) adalah kecendrungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara
baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu. Dengan demikian, pada
prinsipnya sikap itu dapat kita anggap suatu kecendrungan siswa untuk bertindak
dengan cara tertentu.[24]
Sikap
siswa yang positif, terhadap guru akan terlihat pada pertanda awal mata
pelajaran yang guru sajikan dari proses belajar siswa tersebut. Sebaliknya,
sikap negatif siswa terhadap guru dan mata pelajaran terjadi bila diiringi oleh
sikap kebencian kepada guru dan kepada mata pelajaran yang dibawakannya dapat
menimbulkan kesulitan belajar siswa tersebut.
Untuk
mengantisipasi kemungkinan munculnya sikap negatif siswa seperti tersebut di
atas, guru dituntut untuk terlebih dahulu menunjukkan sikap positif terhadap
dirinya sendiri dan terhadap mata pelajaran yang menjadi vaknya. Dalam hal
bersikap positif terhadap mata pelajarannya, seorang guru sangat dianjurkan
untuk sentiasa menghargai dan mencintai profesinya.
5) Motivasi
Pengertian
dasar motivasi ialah keadaan internal organism yang mendorongnya untuk berbuat
sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk
bertingkah laku secara terarah (Gleitman, 1986; Reber,1988)[25]
Adapun
bentuk motivasi belajar di Sekolah dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
a)
Motivasi Intrinsik
Motivasi
intrinsik adalah hal dan keadaan yang berasal dari dalam diri siswa sendiri
yang dapat mendorong melakukan tindakan belajar.[26] Dalam buku lain
motivasi intrinsik adalah motivasi yang timbul dari dalam diri seseorang atau
motivasi yang erat hubungannya dengan tujuan belajar, misalnya: ingin memahami
suatu konsep, ingin memperoleh pengetahuan dan sebagainya.[27]
Faktor-faktor
yang dapat menimbulkan motivasi intrinsik adalah:
a.
Adanya kebutuhan
b.
Adanya pengetahuan tentang kemajuan dirinya sendiri
c.
Adanya cita-cita atau aspirasi.[28]
b)
Motivasi Ekstrinsik
Motivasi
ekstrinsik adalah hal atau keadaan yang datang dari luar individu siswa, yang
mendorongnya untuk melakukan kegiatan belajar.[29] Bentuk motivasi
ekstrinsik ini merupakan suatu dorongan yang tidak secara mutlak berkaitan
dengan aktivitas belajar, misalnya siswa rajin belajar untuk memperoleh hadiah
yang telah dijanjikan oleh orang tuanya, pujian dan hadiah, peraturan atau tata
tertib sekolah, suri tauladan orang tua, guru dan lain-lain merupakan contoh
konkrit dari motivasi ekstrinsik yang dapat mendorong siswa untuk belajar.
Dalam
perspektif kognitif, motivasi intrinsik lebih signifikan bagi siswa karena
lebih murni dan langgeng serta tidak bergantung pada dorongan atau pengaruh
orang lain.
Perlu
ditegaskan, bukan berarti motivasi ekstrinsik tidak baik dan tidak penting.
Dalam kegiatan belajar mengajar tetap penting, karena kemungkinan besar keadaan
siswa itu dinamis berubah-ubah dan juga mungkin komponen-komponen lain dalam
proses belajar mengajar ada yang kurang menarik bagi siswa sehingga siswa tidak
bersemangat dalam melakukan proses belajar mengajar baik di sekolah maupun di
rumah.
Bahwa
setiap siswa tidak sama tingkat motivasi belajarnya, maka motivasi ekstrinsik
sangat diperlukan dan dapat diberikan secara tepat.
Di
dalam kegiatan belajar mengajar peranan motivasi baik intrinsik maupun
ekstrinsik sangat diperlukan. Dengan motivasi, siswa dapat mengembangkan
aktifitas dan inisiatif sehingga dapat mengarahkan dan memelihara kerukunan
dalam melakukan kegiatan belajar.
C. KESIMPULAN
Dari
semua uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa :
Pembelajaran
adalah berupaya mengubah masukan berupa siswa yang belum terdidik, menjadi
siswa yang terdidik, siswa yang belum memiliki pengetahuan tentang sesuatu,
menjadi siswa yang memiliki pengetahuan.
Faktor-faktor
internal pembelajaran ada dua yakni dari Aspek Fisiologis dan Aspek Psikologis.
Aspek Fisiologi adalah Kemampuan umum jasmani dan tonus (tegangan
otot) yang menandai tingkat kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya,
dapat mempengaruhi semangat intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Adapun
aspek psikologis di dalamnya terdapat lima unsur yakni,
a)
kecerdasan/ inteligensi siswa adalah kemampuan psikofisik untuk mereaksi
rangsangan atau menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara tepat,
b)
minat adalah penerimaan akan sesuatu hubungan antara diri sendiri dengan
sesuatu di luar diri. Semakin kuat atau dekat hubungan tersebut, semakin besar
minat,
c)
bakat adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk mencapai
keberhasilan pada masa yang akan datang,
d)
sikap siswa adalah gejala internal yang berdimensi afektif berupa kecendrungan
untuk mereaksi atau merespon (respon tendency) dengan cara relatif tetap
terhadap obyek orang, barang dan sebagainya, baik secara positif maupun
negatif, dan
e)
motivasi adalah keadaan internal organism yang mendorongnya untuk berbuat
sesuatu. Dalam pengertian ini, motivasi berarti pemasok daya (energizer) untuk
bertingkah laku secara terarah.
DAFTAR PUSTAKA :
Aunurrahman. Belajar dan Pembelajaran. 2010.
Bandung : Alfabeta.
Azhari, Akyas. Psikologi Pendidikan. 1996. Semarang
: Dina Utama Semarang.
Bahri Djamarah, Syaiful. Psikologi Belajar. 2002.
Jakarta : PT Rineka Cipta.
H. M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan.1996.
Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya.
Mahmud. Psikologi Pendidikan. 2010. Bandung
: CV Pustaka Setia.
Syah, Muhibbin. Psikologi Belajar.2003. Jakarta :
PT RajaGrafindo.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan
Baru. 2010. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Syah, Muhibbin. Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan
Baru, 2002. Bandung: Remaja Rosdakarya.
[1] Aunurrahman. Belajar
dan Pembelajaran. 2010. Bandung : Alfabeta. Hlm. 35
[2] Muhibbin
Syah. Psikologi Belajar.2003. Jakarta : PT RajaGrafindo. Hlm. 145
[3] Syaiful
Bahri Djamarah. Psikologi Belajar. 2002. Jakarta : PT Rineka Cipta.
Hlm. 155
[4] Ibid,
Hlm. 155
[5] Muhibbin
Syah. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. 2010.Bandung : PT
Remaja Rosdakarya. Hlm. 131
[6]
Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar.2002. Jakarta : PT Rineka
Cipta. Hlm. 160
[7]
Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003. Jakarta : PT RajaGrafindo.
Hlm. 147
[8] Ibid,
147
[9]
Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar.2002. Jakarta : PT Rineka
Cipta. Hlm. 161
[10]
Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003. Jakarta : PT RajaGrafindo.
Hlm. 151
[11]
Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar. 2002. Jakarta : PT Rineka
Cipta. Hlm. 157
[12]
Ibid, hlm. 157
[13]
Ibid, hlm. 158
[14]
Ibid, hlm. 158
[15]
Ibid, hlm. 158
[16]
Ibid, hlm. 159
[17]
Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003. Jakarta : PT RajaGrafindo.
Hlm. 150
[18]
Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar. 2002. Jakarta : PT Rineka
Cipta. Hlm. 162
[19]
Ibid, hlm. 164
[20]
Ibid, hlm. 165
[21]
Muhibbin Syah. Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru. 2010.Bandung :
PT Remaja Rosdakarya. Hlm. 133
[22]
Syaiful Bahri Djamarah. Psikologi Belajar. 2002. Jakarta : PT Rineka
Cipta. Hlm. 165
[23]
Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003. Jakarta : PT RajaGrafindo.
Hlm. 149
[24]
Muhibbin Syah. Psikologi Belajar.2003. Jakarta : PT RajaGrafindo.
Hlm. 123
[25] Mahmud. Psikologi
Pendidikan. 2010. Bandung : CV Pustaka Setia. Hlm. 100
[26] Muhibbin
Syah, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, 2002.
Bandung : Remaja Rosdakarya. Hlm. 136
[27] H.
M. Alisuf Sabri, Psikologi Pendidikan.1996. Jakarta : Pedoman Ilmu
Jaya. h. 85
[28] Akyas
Azhari, Psikologi Pendidikan. 1996. Semarang : Dina Utama Semarang. hlm.
75
[29] Muhibbin
Syah, Op. Cit. h. 82
Tidak ada komentar:
Posting Komentar